Untuk Apa Tergugat di Panggil Kembali ?
Oleh: Abdurrahman, S.Ag.
Dalam perkara gugatan (contentius,) pada lingkup hukum perdata, ruang sidang merupakan tempat perjumpaan antara pihak penggugat dengan tergugat. Kehadiran para pihak disebabkan adanya panggilan yang disampaikan oleh juru sita. Panggilan bergerak dari pengadilan menuju kediaman pihak semata-mata didorong oleh perintah ketua majelis (pasal 145 R.Bg/121 HIR). Bentuk dan tata caranya memiliki beberapa variasi yang ditentukan oleh kediaman atau keberadaan pihak.
Untuk satu nomor perkara, sejatinya cukup dengan satu kali panggilan yakni untuk sidang pertama saja. Bila sidang berserial dengan sidang berikutnya, kehadiran para pihak selanjutnya didasari atas pemberitahuan ketua majelis yang disampaikan langsung dalam ruang sidang. pemberitahuan tersebut dinilai berlaku sama dengan panggilan. Tata cara ini berjalan bila situasi dan kondisi para pihak dipastikan tidak pernah absen di persidangan.
Lain halnya bila pada sidang pertama di antara pihak diproyeksikan absen maka pasal 150 R.Bg/126 HIR mengatur bahwa sebelum mengambil keputusan (baca : verstek atau gugur), ketua majelis dapat memerintahkan juru sita untuk memanggil sekali lagi pihak yang tidak hadir (baik penggugat ataupun tergugat). Pada ketentuan ini, peran juru sita kembali diberdayakan.
Dalam teks-teks hukum di atas, juru sita dengan panggilannya diposisikan sebagai “perpanjangan tangan” majelis hakim guna menghadirkan para pihak. Panggilan menjadi salah satu perangkat penting untuk mewujudkan prinsip contradictoir/ optegensprak yang menjadi ciri khas perkara gugatan (contentius). Dimana prinsip ini meniscayakan kedua belah pihak hadir, sehingga tercipta hak dan ruang yang sama bagi penggugat dan tergugat untuk saling jawab-menjawab, sanggah menyanggah dan saling membuktikan dalil masing-masing, hingga saling memberikan kesimpulan.